Nasionalisme merupakan idealisme yang menafasi sebuah gerakan dalam skala nasional, yang disemangati oleh pengakuan bersama segenap komponen bangsa bahwa negara merupakan sebuah realisasi ideal dari aspirasi masyarakat terhadap hasrat-hasrat politik, sosial, ekonomi, dan budaya.  Dengan demikian, sebenarnya nasionalismelah yang merupakan faktor primer dan raison d’être, alasan untuk berada dan hidup (reason for being and living), penentu dari berdirinya sebuah negara, bukan tatanan politik dan pemerintahan, bukan  simbol-simbol negara  (seperti bendera dan lagu kebangsaan), bahkan bukan pula undang-undang dasar negara tersebut.  Tanpa nasionalisme, sebuah negara ibarat sebuah mesin yang terus bekerja namun tanpa roh; seperti yang diungkapkan oleh seorang teolog liberal Ernest Renan, “A nation is a soul, a spiritual principle (Ronald Grigor [1996]: 52-54).  Maju atau mundurnya serta berkembang atau runtuhnya sebuah negara bergantung sepenuhnya kepada nasionalisme. 

Namun, masalah nasionalisme ini menjadi semakin tidak mudah bagi bangsa yang sangat majemuk seperti Indonesia, sebab jujur harus diakui semangat nasionalisme sendiri biasanya muncul dan mencuat akibat adanya homogenitas atas alasan-alasan yang lebih bersifat emosional.  Ini pulalah yang dikemukakan oleh Richard Handler, seorang profesor Antropologi di Universitas Virginia, tatkala ia membedakan definisi negara (state) dengan bangsa (nation), “The state is viewed as a rational, instrumental, power-concentrating organization. The nation is imagined to represent less calculating, more sentimental aspects of collective reality” (1988:6-8). Istilah yang sering digunakan dalam buku teks pelajaran sejarah kita adalah perasaan “senasib-sepenanggungan.”  Kesamaan-kesamaan sentimental yang biasanya menjadi alasan utama berdirinya sebuah negara adalah kesamaan asal usul, kesamaan bahasa dan kesamaan agama.  Contoh negara-negara yang berdiri karena solidaritas kesamaan yang bersifat sentimental ini sangat banyak.  Sebut saja Israel dengan gerakan Zionismenya, yang sanggup menyatukan kembali penduduknya yang tersebar (diaspora) ke berbagai belahan dunia selama kurang lebih 2000 tahun, terutama paska kekejian Hitler tahun 1945 yang menewaskan lebih dari 6 juta orang Yahudi.  Zionisme (yang sering kali disalahpahami dan dianggap sebagai gerakan politik dan militer) sendiri sebenarnya adalah gerakan nasionalisme yang dimulai pada abad ke-19 namun sudah memiliki akar religius yang kuat sejak tahun 6 SM, ketika bangsa Yehuda dibuang ke Babel oleh Nebukadnezar dan para nabi memotivasi mereka untuk yakin bahwa suatu hari Allah akan membawa mereka kembali ke tanah perjanjian, eretz Israel.  Kegerakan kebangsaan di India pun tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Hinduisme yang menjadi perekat bagi kelompok-kelompok tradisional.  Dengan prinsip yang dekat dengan paham monisme, Hinduisme menjelma menjadi common language bagi perbedaan-perbedaan yang ada.

Bagaimana dengan Indonesia?  Atas dasar homogenitas-sentimental apa kita masih menjadi satu bangsa?  Sebab bukankah problem ini pula yang melahirkan banyak gerakan sektarian yang mencabi-cabik semboyan agung Bhineka Tunggal Ika?  Lihat saja konflik-konflik horizontal yang sudah memakan korban ribuan orang karena alasan perbedaan suku, agama dan ras.  Bukankah itu cukup membuktikan betapa sulitnya menemukan common ground untuk dijadikan pijakan bersama hidup di bumi Indonesia?  Belum lagi serbuan filsafat-filsafat zaman seperti materialisme, hedonisme, kapitalisme yang terbukti efektif menggerus identitas bangsa yang terkenal ramah-tamah ini dan menyulapnya menjadi bangsa yang individualis dan egois.

Saya tertarik dengan sebuah cerpen dari Putu Wijaya dalam blog-nya, “Nasionalisme,” di mana, menurut saya, dengan sangat baik ia sedang menyindir nasionalisme sempit kita saat ini yang cenderung suka beromantisme dengan masa lalu.  Hal tersebut ia ibaratkan seperti sekelompok anak-anak Sekolah Dasar 1 yang kerap melukis sawah, gunung dan matahari di zaman mall dan komputer ini.  Ary, sang guru lukis berang melihat tingkah laku anak didiknya ini.  Dia menganggap ide mereka adalah ide yang kurang peka dengan realitas perkembangan zaman yang ada. 

Dari sini ada pertanyaan serius yang patut kita ajukan, “Mungkinkah nasionalisme kita harus terus berpatokan pada romantisme masa lampau?”  Bukankah zaman akan berganti zaman dan generasi yang dulu ada akan lenyap diganti generasi yang baru? Apa dasar nasionalisme kita?

Saya sangat tertarik dengan analisis cerdas dari sebuah artikel Mohamad SM dalam sebuah situs, yang mencoba membandingkan semangat nasionalisme versi Theodor Herzl (1860-1904) yang berkebangsaan Yahudi, dengan semangat nasionalisme Bung Karno , salah seorang pendiri republik ini.  Satu poin penting yang diangkat oleh Mohamad SM adalah—terlepas dari kesamaan konsepsi keduanya yang cenderung sepakat dengan sosialisme Karl Marx—semangat Zionisme Herzl berdasar atas cita-cita masa lampau dari kejayaan Israel sedangkan semangat tanah air Indonesia Bung Karno bersumber dari sebuah mimpi (baca: visi) akan hadirnya cita-cita “. . . bangsa Indonesia yang bersatu dari negara kepulauan Nusantara multi-etnik multi bahasa.”  Lebih tepatnya, semangat nasionalisme Indonesia sebenarnya tidaklah didasarkan pada sebuah romantisme homogenitas-sentimental yang sangat mudah ditelan arus zaman, melainkan oleh sebuah keyakinan yang kuat akan kebenaran universal bahwa setiap manusia pada dasarnya sama di hadapan Tuhan.  Namun tidak pula seperti Declaration of Independence (Pernyataan Kemerdekaan) Amerika Serikat, yang walaupun menekankan bahwa, “that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the pursuit of Happiness—namun sebenarnya berangkat dari titik kebebasan individu sehingga saat ini malah cenderung melahirkan individualisme—konsep nasionalisme Bung Karno lahir dari visi yang sangat jauh ke depan terhadap hadirnya sebuah dunia baru, komunitas baru (bukan individu) di mana sesama warga hidup saling mengasihi, saling menghargai, saling menikmati tanpa mengenal sekat-sekat pembeda di antara mereka.

Kalau Martin Luther King, Jr. pernah bermimpi:

I have a dream that one day on the red hills of Georgia, the sons of former slaves and the sons of former slave owners will be able to sit down together at the table of brotherhood. . . . I have a dream that one day even the state of Mississippi, a state sweltering with the heat of injustice, sweltering with the heat of oppression, will be transformed into an oasis of freedom and justice. I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character. I have a dream today!

maka Sukarno telah mewujudkannya dengan nama ini, INDONESIA, dan itu layak untuk diperjuangkan!

Maka dengan demikian, sebenarnya, merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa kalau kita para pengikut Kristus dapat lahir dan hidup di bumi Indonesia.  Sebab bukankah cita-cita pendiri negara ini, dalam pengertian yang terbatas, merepresentasikan apa yang sebenarnya menjadi cita-cita Kerajaan Allah dan cita-cita penebusan Golgota?  Bahwa di dunia baru itu, “. . . tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28).  Dan bahwa di dalam dunia baru itu, “Serigala dan anak domba akan bersama-sama makan rumput, singa akan makan jerami seperti lembu dan ular akan hidup dari debu. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di segenap gunung-Ku yang kudus, ‘firman TUHAN’” (Yes. 65:25).  Ya, Indonesia adalah miniatur ajaib Allah atas cita-cita Kerajaan Allah itu.  Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mencintai Indonesia.  Tidak ada alasan bagi orang percaya untuk tidak berjuang bagi Indonesia.  Berjuang bagi Indonesia adalah perjuangan bagi Kerajaan Allah.

4 tanggapan untuk “Orang Kristen dan Krisis Nasionalisme Indonesia

  1. daripada ngomong soal nasional, bagaimana kita bicara tentang skoop lebih kecil, tentang keluarga……..
    kapan undangannyaaaaaaaaaaa

  2. memang saat ini disadari atau tidak ! bangsa ini terkdang kurang mensyukuri apa yang Tuhan Yesus berikan pada bangsa kita,saya jd ingat apa yg di ktakan andrie wongso(walaupun sy kurang setuju ttg prinsip hidupnya)”miliki apa yg kita cintai, cintai apa yg kita miliki” mngkn klimat itu layak untuk mengukur “kenasionalismean” kita saat ini.

    kak ini artikel saya dulu:
    http://suarapembaca.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/23/time/071227/idnews/820518/idkanal/471

    my blogs:
    http://my.opera.com/donald%20around/blog/www-unmer-ac-id

  3. Di sadari atau tidak! terkadang bnyk oknum di dalam bangsa ini kurang mensyukuri apa yg Tuhan Yesus telah berikan bagi indonesia,saya jd ingat apa yg di katakan andrie wongso(walaupun kurang setuju dengan prinsip & tujuan hidupnya) “cintai apa yg anda miliki,miliki apa yg anda cintai” setidaknya kalimat itu dapat menjadi titik dasar kita untuk mengukur rasa “kenasionalismean” kita bagi negeri ini.

    kak ini artikel sya dlu:
    http://suarapembaca.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/23/time/071227/idnews/820518/idkanal/471

    my blog:
    http://my.opera.com/donald%20around/blog/www-unmer-ac-id

  4. for my brother donald,

    Thanks don! Slut juga buat kamu yang bisa nembus detik.com. Mari kita maju bersama-sama berjuang agar banyak orang melihat kebenaran!

    Salam

Tinggalkan komentar